Minggu, 16 Juni 2013

Tolak Mundak BBM

Pemerintah menaikkan harga minyak dengan skema BLSM harga premium naik menjadi Rp 6500. hal ini banyak menimbulkan gelombang protes terutama dari mahasiswa dan kaum buruh. ada berapa argumen yang diutarakan Ahmad Erani Yustika;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya antara lain:

Seperti pengalaman beberapa waktu sebelumnya, rencana kenaikan harga minyak ini juga berpotensi menimbulkan persoalan serius karena beberapa hal berikut. Pertama, rakyat selama ini merasa pemerintah selalu mengambil jalan pintas setiap kali ada kenaikan harga minyak internasional yakni menaikkan harga BBM domestik. Padahal, persoalan minyak di Indonesia ragamnya sangat banyak dan menghendaki perubahan yang mendasar.

Dari sisi hulu, penguasaan asing mencapai sekitar 80% dari total produksi dan tidak ada tanda-tanda akan berkurang. Mereka berproduksi dengan kecenderungan terus menurun, tapi biaya pemulihan (cost recovery) terus menjulang tiap tahun (ini menjadi beban pemerintah).

Impor minyak tidak langsung ditangani Pertamina, namun dikerjakan oleh Petral yang tidak langsung berhubungan dengan produsen langsung (negara) sehingga harga minyak impor lebih mahal. Rakyat marah kenapa ihwal semacam ini yang sudah berjalan puluhan tahun dibiarkan, tapi saat APBN dikatakan jebol selalu solusinya kenaikan harga BBM.

Kedua, pemerintah berargumentasi bahwa kenaikan harga BBM untuk menyelamatkan neraca perdagangan yang sejak 2012 mengalami defisit. Pertimbangannya, konsumsi BBM yang terus meningkat (di mana sebagian harus diimpor) membuat pembengkakan impor makin besar sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan.

Tapi, pemerintah menyembunyikan satu data lainnya yang penting, sejak 2007-2011 (sebelum terjadi defisit perdagangan pada 2012) memang pertumbuhan ekspor nonmigas jauh lebih rendah ketimbang impor nonmigas. Selama kurun waktu itu pertumbuhan ekspor nonmigas hanya 14%, namun pertumbuhan impor nonmigas sebesar 22%.

Dengan gambaran itu, sudah pasti tanpa ada kenaikan impor BBM pun dipastikan defisit neraca perdagangan akan terjadi, hanya soal waktu. Jadi, mestinya persoalan defisit neraca perdagangan tidak boleh dilokalisir hanya oleh sebab impor migas.

Ketiga, pemerintah menganggap bahwa subsidi BBM sudah pada level yang membahayakan sehingga mengganggu stabilitas fiskal. Defisit fiskal akan makin besar jika harga BBM tidak dikurangi. Masalahnya, selama ini rencana defisit yang dibuat pemerintah tidak pernah bisa direalisasi (di bawah target) karena penyerapan APBN yang buruk. Pada 2012 misalnya seluruh pos APBN penyerapannya di bawah 90%, kecuali untuk pos subsidi dan belanja pegawai sehingga defisit APBN juga lebih kecil dari rencana (meskipun pos subsidi lebih besar dari perencanaan).